Gadis Bermata Badai

Di tengah riuh itu, ada sesosok gadis yang duduk terdiam menunggu. Parasnya elok namun penuh keraguan diri. Gemuruh silih berganti, namun ia tetap diam menanti,  seaman tak terpengaruh oleh datangnya badai. Tak jarang badai yang singgah justru berlama-lama di dekatnya, sebab ia memberi tenang di tengah gemuruh para badai itu. Ada sesuatu yang membuat mereka tertarik. 

Setelah kuamati sekian lama dari kejauhan, aku memberanikan diri untuk mendekati gadis ini. Tak ayal, ia pun terkejut. "apa kau akan sementara atau lebih lama di dekatku.?", tanyanya. 

"Entah, aku penasaran saja. Kau bisa tenang menghadapi riuhnya badai. Apa yang membuatmu bertahan, dan seakan terpengaruh ?", tanyaku padanya.

Ia duduk, menghela nafas seakan hendak mengeluarkan segala macam beban. Di balik sorot matanya yang seakan menilaiku, kulihat titik gelap yang tersembunyi, tanda seorang yang penat. 

"aku tidak pernah merasakan apapun. Tidak ada ikatan apapun. Mereka pergi begitu saja seusai dekatku begitu lama. Apa kau juga akan begitu ? Entah. Aku tidak merasa apapun darimu juga", jawabnya. Matanya berpaling, seakan jengah melihatku.

"aku tidak tahu. Mungkin juga tidak. Aku hanya mengamati dari jauh, tidak tahu yang sebenarnya. Maka, kali ini kuberanikan diri dekatmu", balasku.

"mungkin kau jengah juga nantinya. Tapi biarlah", ucapnya pelan.

Kini, kulihat senyum di wajahnya dari dekat. Sebelumnya, kulihat ia tertawa sendiri, bahkan tersipu malu. Namun, tak sekalipun aku lihat ia mengasihi badai yang lewat. 
Semakin lama, semakin aku dekat. Aku semakin ragu dan menutup diri.

Yang kutakutkan, adalah suatu hari nanti aku akan jadi seperti mereka. Maka kuputuskan untuk berhenti. Aku kembali menatap ia, si gadis yang terduduk diam itu, kembali dikelilingi oleh badai. 

Dalam diamku dari jauh, aku memikirkan banyak hal. Sungguh kejam jika aku pergi tanpa pamit, berpisah tanpa penutupan. Terlebih, riuhnya badai yang datang, setelah kuamati sekian lama, justru bukan salahnya. Aku tahu bahwa gadis ini tak menginginkan dirinya melenakan para badai yang tak kunjung henti. 

Sehingga, kuberanikan diriku lagi untuk mengucap salam, sebagai hal yang mengamatinya dari kejauhan. Sosok yang diam, yang pernah dianggapnya memberi tenang. Tak tahu apa yang terjadi, hanya peduli selama sang gadis berbahagia. 

"kenapa kau kembali ?", tanya sang gadis.

"aku ingin berada di dekatmu. Itu saja", ucapku lugas.

"kau masih temanku ? Kau masih sahabatku, kan?", tanyanya.

Aku terdiam lama, mengingat pemikiran dan kejadian yang lampau. Kuolah kembali agar aku yakin, apa yang kulakukan adalah hal yang benar.

"aku temanmu. Hanya saja, kau lebih dari temanku. Aku nyaman dekat denganmu. Kalau kau tak keberatan, biarlah aku duduk di sini, menikmati engkau yang menyambut datangnya badai tiada henti"

"terima kasih, dan duduklah. Singgahlah jika kau ingin. Aku tak mau kau terganggu saja. Jika kau nyaman, menetaplah. Hanya, kabari aku jika kau hendak menjadi badai. Kau dekat denganku namun kau jauh dariku ketika aku tampak sibuk sendiri. ", jelasnya.

"mungkin aku tak yakin. Kini aku hanya ingin duduk di sini bersamamu. Suatu saat, jika kau yang pergi, aku akan duduk di sini. Menanti datangnya badai lain"

Dan kami saling menukar kelegaan, dab mulai duduk tenang, menikmati angin yang terhenti sementara untuk rileks sejenak. Mungkin ia gadis yang bisa menaklukkan, atau menenangkan badai. Walau bagiku, dia hanya seorang gadis yang ingin kuhabiskan waktu untuk duduk tenang, dan menikmati panorama indah tiada terganti, bersama-sama. 

Comments

Popular Posts