Halimun: sebuah pujian kepada kasih, alam dan semestaku

Bila Jagad terlena oleh angkara murka
Kesombongan penguasa yang semena-mena
Para tetua berkata, bila datang saatnya nanti
Keburukan 'kan dilebur oleh ketulusan hati

Namun selalu, kenaifan atas cinta kasih
Yang membuatku senantiasa membisik lirih
Terus menekankan, bahwa usaha akan berbuah
Entah busuk atau segar, kering atau berlimpah

Maka tidak perlu terlalu diperhitungkan
Sesuatu yang tidak bisa dirumuskan
Seperti rasa, seperti cinta yang datang seperti halimun
Menutup kebenaran serta menambah beban renung

Mereka bilang, cinta berasal dari alam
Unsur semesta yang bukan hak pribadi bagi insan
Kompromi antara rimbunnya hutan dan pepohonan
Serta bagaimana laut membentang membagi daratan

Semua itu kompromi dari dalam inti materi
Namun, bagaimana dengan hati?
Tidak selalu kita bisa mendamaikan rasa
Atas asa yang melampaui tingginya angkasa

Sungguh, mengakomodasi perbedaan memang rumit
Namun, aku belajar dari batuan stalagtit
Bahwa kesabaran adalah kunci kesuburan
Ketulusan merupakan buah awal kasih sayang

Lihat saja bintang yang kau tatap malam ini
Padahal, sudah jutaan tahun lamanya berpendar begini
Namun, insan yang melihatnya terus berbeda
Baru terlihat oleh kita yang duduk disini, saling menemani

Namun, nyaliku semakin menciut
Ketika datang si Halimun, kabut yang menyikap kalut
Membuka luka lama serta segumpal rasa takut
Bahwa hayal dalam hatiku terlewat larut

Namun, kabut juga bagian dari riuhnya dunia ini
Yang terus bertutur tanpa henti, yang tiada henti memberi
Memberi hidup bagi yang tidak mendamba mati
Memberi rumah bagi yang tak ingin pergi

(10 juli 2020, aku rindu bercengkrama dengannya) 

Comments

Popular Posts