Lautan tanpa kenangan

Hal yang unik dari perjumpaan kita, adalah bagaimana mungkin dunia yang luas dan penuh dengan misteri ini, nyatanya begitu tegas, jujur dan sempit adanya. Bukan mustahil, seandainya kita membuka diri untuk mencari dan menerima pengalaman serta perjumpaan baru. Hanya saja, sebagian dari kita terlalu kaku, atau enggan menjamah dunia diluar dunia yang diketahui. Setidaknya itulah yang terjadi padaku, pada kita di tempo hari.

Sejatinya, dunia ini menawarkan banyak romansa dan percumbuan bagi insan yang mendambanya. Awalnya, aku naif dan lugu, ceroboh bahkan cenderung acuh pada fakta tentang keberbedaan kita.
Hampir setiap saat aku menyibukkan diri untuk tenggelam dalam sentimen tak berdasar, sibuk mengasihani diri sendiri. Hal ini berlangsung cukup lama, bahkan hingga saat kata-kata ini kuungkap, kesedihan ini masih bersembunyi di sudut remang akal sehatku, menunggu pemicu baru tuk menariknya.

Suatu ketika, di sela rutinitasku menjamah dunia maya, kudapati racauan seorang teman virtual yang menjabarkan tentang pedihnya rasa tak berbalas. Kami bertukar pendapat, menakar sulitnya menangani kepedihan itu. Proposisi yang ia ajukan adalah tentang bagaimana kepedihan akan terus menerus melanda, jika kita berkutat pada pedih yang sama. Hal yang terjadi, seperti kukatakan sebelumnya, adalah rasa sentimen tak berdasar: ia terlahir dari pikiran yang dibuat-buat, bahkan dipaksakan.

Ketika kita mengenang suatu hal, yang kita rindukan sejatinya adalah momen, bukan sekedar pribadi yang terlibat di dalamnya. Kita membiarkan diri mengambang di sebuah lautan memori tak bertepi, tanpa pernah tahu kapan datangnya ombak. Selayaknya ubur-ubur, ia tetap terdiam hingga menunggu intervensi dari luar dirinya.

Inilah sebenarnya yang terjadi pada mereka yang berkutat di sebuah memori: mengharap keajaiban tanpa berusaha lebih tuk menciptakan keajaiban kecil bagi dirinya.

Sekarang, aku mulai berenang-renang di tengah lautan memori itu seorang diri, tak lagi mendamba keajaiban nan absurd. Terkait dengan analogiku terkait si penjelajah dan duyung, kini tokoh itu tak lagi menanti di pulau yang sama, sebab ia tahu, komitmen kosong pada sang duyung pun tak berbuah apa-apa.
Seandainya ada pemicu lain dari si duyung, adalah komitmen masing-masing untuk menjadi diri terbaik mereka. Pun akhirnya angan sang penjelajah tak terbalas oleh semesta, ia tak boleh merugi. Sebab ia telah rela, bahwa sejumlah angan, walau dapat diungkapkan, tak sepatutnya dipaksakan.

Comments

Popular Posts