Akalku tiada laku

Apa yang membuat kita bertahan.

Tema besar ini, tiap petang menjelang, selalu membayang dalam angan. Tiada beraturan, acak tak berpola, dan terjadi begitu saja. Dari beratus hari kontemplasi, tak kunjung pula ia menetas. Bagai engkau menanti air yang tengah mendidih, semua menjadi begitu lambat, menjemukan. Aku menunggu jawaban, yang tak urung jua kudapatkan.

Kita bersama, tumbuh dan membagi perih, sukacita dan kenangan. Kesederhanaan itu yang kucari, sebetulnya. Tertahan oleh rasaku, akalku terbelenggu dari pertanyaan yang kuungkap di awal perjumpaan. Sekali lagi aku bertanya dalam kesendirianku, terus menggumamkan kenapa kita bertahan. Kau dan aku begitu berbeda, tak serupa. Awalnya aku berpikir, tak mengapa. Semua bisa dinalar. Semua bisa diselesaikan. 

Kegamanganku, yang kembang kempis tiada henti, membuat aku senewen, lupa hakikat sejati yang membuat kita mendamba perjumpaan. Aku bosan, mungkin sesingkat itu. Bosan yang tak dapat disembuhkan hanya dengan perjumpaan. Semua ini memang terkesan konyol, sebab aku percaya, ikatan tak ditopang oleh aku dan aku belaka, tetapi kita. Ia dibelenggu oleh kompromi, keyakinan dua pihak untuk menyanding kesemena-menaan diri. Kita telah hilang, larut oleh kekalutan yang terbangun tanpa pondasi. 

Mudah bagiku tuk mengakhiri ini semua, namun aku tak kunjung mampu. Mengucapnya sama dengan melanggengkan perpisahan abadi, sebab nantinya engkau dan aku kembali ke kondisi awal kita berjumpa, yakni terasing. Mungkin aku memang keji, karena kisahku berujung serupa, tanpa pernah kurenungkan cela dalam setiap pasalnya. Tak mengapa, ini karma. Balasan atas tindakku yang sewenang-wenang, meninggalkan nona tanpa sepucuk surat terlayang. Semua itu mudah. 

Masalahnya, kenapa tak kunjung kulakukan? Kukatakan padanya, apakah perjumpaan kita dibelenggu keibaan ? Tak setuju ia pada buah pikirku, dan mengatakan bahwa kita sama-sama ingin. Kita sama-sama berjuang, mencoba mengikis anomali dan keraguan. Acapkali kita sesumbar melayangkan kata perpisahan, namun kerap jua kita telan ludah yang terbuang. 

Disini, dibawah bintang malam aku terduduk sendiri. Sambil menghela nafas panjangku, kucoba kembali mempertanyakan jawaban dibalik alasan, namun akal tak cukup mengesankan. Rasaku telah habis, jika kau tahu. Keyakinan dan kepercayaan yang menjadi pondasi, membuat aku sangsi, sebab semua ini seperti hambar jadinya.

Bila keterasingan nantinya menjadi epilog kisah kita, tak mengapa. 



Comments

Popular Posts