Murtad dan mualim
Apa pemicu jadinya kita?
Tanah, jawab sang pemuda
Mengapa masih ada tanah?
Kita tanah yang utama, dijadikan-Nya baik
Bagaimana menjawab pendahulu kita?
Serupa, namun mereka saling mengingkari sesama
Serupa, namun mereka saling mengingkari sesama
Mereka ada sebelum kita, dan Ia tak ingin kita jadi seperti mereka
Lantas, kenapa tidak diutus bagi mereka, seorang yang unggul
Mengapa harus kita
Sesungguhnya ia tahu, bahwa keutamaan kita adalah pembawa kebaikan di bumi
Bukankah ia mencipta kita dari citra-Nya?
Ia baik, unggul, penuh kasih
Pasalnya, kisah ini berputar di tempat yang sama
Dan yang dikutip, dituturkan hanya bangsa mereka
Kemana kita yang jauh dari mereka?
Apa ia mencintai mereka, tapi kita dipingitnya?
Bukan, begitu. Utusan-Nya telah mengujar, ia mengemban titah tuk mengajarkan perintah-Nya di dunia
Ia menyuarakan kebenaran, menunjukkan bangsa itu bahwa mereka telah salah jalan
Lantas, bagaimana dengan mereka yang percaya dengan yang liyan?
Apa mereka tak pantas mendapat kasih-Nya, bahwa mereka tak dapat menjangkau utusan sang tuan?
Dan sekarang masalah bertambah pelik!
Ada yang mendamba, membunuh orang adalah ujaran sang khalik!
Mereka tidak menjalankan ujaran sebagaimana adanya
Mereka terpatri, tergerak oleh dorongan surga
Maka dari itu sudah kewajiban tuk menjelaskan, bahwa keselamatan bukanlah pemusnahan
Dan mereka yang membantai itu, tidak mendapat rahmat dari sang tuan
Bagaimana dengan kau? Apakah engkau telah menjalankannya?
Kau diperintahkan tuk melawan yang tak percaya, bukan?
Kenapa kau tak membunuh aku saja? Mungkin dari sana kau mendapat surga
Petunjuk datang dari mereka yang diberkati dan mencari
Sudahkah engkau memulainya? Membaca pertanda-nya, membuka peluang tuk kehadirannya?
Apaka kau mengutuk tanpa membaca ajarannya?
Kalau ada yang terus meyakinkan untuk tak memilih yang lain, ia tengah cemburu
Kalau ada yang mengatasnamakan ciptaan-Nya sendiri untuk membuktikan diri, ia tengah meragu
Lantas, apa yang engkau percaya jika bukan diri-Nya sebagai tumpuan ?
Dan apakah sanggup selamanya kau jadi ciptaan tak bertuan ?
Kalau kehadiran-nya kau tolak, kenapa kini, bersama aku, ia kau pertanyakan ?
Bukankah kau mengiyakan diri-nya di dalam angan?
Hanya karena kau membahas gagasan, bukan berarti kau mengiyakan
Pun disini aku mengungkap tanda-Nya, toh ia cuma buah pikiran
Jadi, yang tengah kita bahas, dan kehadiran sejati-Nya, tak relevan
Aku dan engkau pun hanya membahas hal yang hanya ada di angan
Comments
Post a Comment