Dialog Dengan Kehampaan

Aku tak tahu, apakah kau lupa, pura-pura atau sungguh mengerti. Namun, yang kuamati dalam hal yang kau katakan sebagai keanehan, dalam dinginnya aku, sesungguhnya aku hanya ingin bicara banyak hal. Begitu banyak hal yang ingin kubagi. Ingin kuketahui setiap beluk kisah dibalik sosok yang tiada henti kupuji paras dan kebaikannya itu, walau tiada kau amini. Pernah kau katakan jika yang kucinta adalah fantasi, fragmen kepalsuan ideal, memuji dan mengagumi sosok yang dianggap sempurna olehku, bahkan lebih lugas kau katakan, oleh kami. 

Awalnya aku tak peduli. 

Hal yang aku ingin tahu pemikiranmu yang sesungguhnya, tentang dunia, tentang manusia, tentang dirimu dan diriku di tengah jagad yang terus bertutur tanpa henti. Hanya saja, yang kupikir dan kurasakan adalah, seakan, kau tak tertarik. Kau tak mengupayakan lebih lanjut. Mungkin terkadang aku terlalu cepat mengambil kesimpulan, atau membenarkan pikiranku sendiri. Apalagi, kau bilang kau akan mendadak lupa terhadap orang yang menyukaimu. Sehingga, bisa celaka aku jadinya, sebab aku adalah orang yang akan terus mengingat dan mengenang sesuatu yang kualami dan terima dari orang lain. Maka dari itu, sebagian keraguanku kupendam lebih dahulu.

Kau lalu bertanya, apakah ada engkau berbuat salah, atau adakah yang membuatku jadi "aneh". Aku akan spontan menjawab, seperti yang biasa saja, atau tidak ada apapun yang berhubungan dengan interaksi kita. Jujur saja, aku memang orang yang akan mendadak enggan atau menjaga jarak,  bila aku merasa lawan bicaraku tak tertarik untuk berbicara lebih lanjut tentang satu isu. Aku orang yang umumnya banyak memikirkan atau akan membahas sesuatu secara serius, dan aku rasa, cara itu tidak sehat untuk dipakai memulai berinteraksi denganmu. Raguku dimulai bila pembicaraan terhenti, atau bahkan kuamati kau tengah sibuk sendiri. 

Terkadang, aku mencoba berlapang dada dengan berkata, silakan, bebaskan, selamat menikmati waktumu. Sebenarnya,  egoku mendorong agar aku menyatakan bahwa aku ingin diajak berdiskusi, ingin dikasihi, serta hal yang terlalu ekstrim untuk aku sampaikan, bahwa aku juga ingin kita saling menyayangimu. Tapi tolol juga, jadinya. Karena aku bukan dan tidak cukup menjadi siapa-siapa untuk memenuhi peranan semacam itu. Namun, temanku juga turut membantu pemikiranku, bahwa tidak bisa kita limpahkan diri untuk menjadi rekan yang utuh bagi seseorang.

Terkadang, aku merasa jengah saja, dan merasa tak becus, bahkan mau menang sendiri. Ingin ku menjadi tumpuan tunggal batin dan pikirmu. Aku ingin menjadi rekanan diskusimu, temanmu berbagi, beraktivitas dan bila perlu, untuk menjalin cinta kasih. Itu egois. Itu hal yang semena-mena, dan aku tak ingin jadi orang yang tetap memupuk bibit angkara murka. Namun, tentu saja. Aku rela menjadi bejat dan memikul angkara murka seorang diri. Bila Rahwana saja berani, aku juga bisa. Sayangnya, namaku Bima, bukanlah Rahwana atau Arjuna. Sosokku kaku, tak sabaran dan keras seperti sosok imajinatif seperti namaku. Maka, aku tetap akan begini saja, namun harus dengan sikap yang lebih tegas tentang rasaku, dan, kusadari bahwa aku menyayangimu, dan sadar bahwa aku tak bisa melakukan segalanya untukmu. 

Aku pun mencoba melegakan hati, mencoba memahami alur kerja semua misteri ini. 
Lantas aku renungi kembali, salahkah caraku selama ini. Ternyata, memang aku yang terkadang seakan tanpa upaya. Maka, kuupayakan selalu berbagi denganmu. Dibalik hal yang kubagi, kuceritakan, bahkan kulantunkan kepadamu, sesungguhnya begitu banyak harapan, angan dalam diri ini untuk menjalin ikatan denganmu. 
Dan memang, pernah kubagi betapa aku merasa aku tak cukup dihargai seperti bagaimana aku ingin. Kini, yang kupikirkan justru berbanding terbalik. Jika engkau ingin, kau juga berusaha lebih. Jika kau memang hendak memulai atau menjalin sesuatu, kau takkan menyerah. Hal ini, tentu berlaku juga bagiku; sebagai pengingat agar aku tak lantas menjadi manusia yang terus ingin dimengerti. Agar aku sadar diri, bahwa mengasihi membutuhkan modal empati. 

Berulang kali aku kau ingatkan bahwa aku bebas pergi, namun tak kunjung juga aku hendak pergi. Karena apa, aku belum tahu. Ada kebahagiaan, dan rasa sakit yang membuatku kerap tersedak oleh ucapku sendiri. Di balik ceracau ini, sesungguhnya aku merasa kalut, sebab aku tak cukup akan mengisi semua peranan dalam menjaga batinmu. Mungkin bukan engkau, adalah hal yang membingungkan, menyakitkan namun melegakan. Karena aku tahu, ada kemungkinan bagi kita nanti untuk bersama. Aku lebih berani menuangkannya dalam wadah seperti ini, karena aku terlalu kaku, tak bercerita bila tiada yang sekedar peduli dan bertanya padaku, tentang apa yang aku rasa, tentang apa yang kupikir. Mungkin karena dalam hidupku, yang kurasakan hanya keharusan mendengar seseorang meluapkan pikirannya sendiri.

Entah arogansiku atau ketidakmauanku yang menjadi faktornya, namun aku merasa tidak akan ada yang benar-benar peduli dan mau memahami, siapa aku, apa yang aku miliki serta aku jalani. Hanya kehampaan pikir yang kutakutkan, dan sedikit banyak, menuangkannya dalam wadah semacam ini, membuatku sedikit lega. Setidaknya sebelum aku benar benar kau pinta untuk pergi, atau kuputuskan untuk pergi nanti, atau jika aku mendadak mati, akan ada rekap jejak yang menggambarkan rumitnya pemikiran tolol yang tidak perlu seperti ini. Kadang aku tak peduli bila orang bilang aku terlalu memikirkan atau menitikberatkan rasaku pada seseorang, karena tidak ada yang benar-benar mengerti. Walau ada, satu dua orang yang memberi solusi, namun perasaan tidak akan hilang. Kadang aku benci, tetapi beginilah aku apa adanya; seseorang yang ingin yakin tentang rasa, manusia dan dunia dengan tidak naif. 

Kau pernah bilang bahwa kau menyukai kejujuran ini. Yang tak kutangkap adalah apa perasaan sejatimu soal hal semacam ini. Tentang aku, tentang engkau yang mungkin telah berulang kali terucap dari bibir, hingga jari ini kadang lelah sendiri. Bila aku hendak memaksa, aku tidak ada ubahnya bagai seorang pendosa, pemerkosa kebebasan dan pemikiran. Aku ingin, suatu saat, kita bergerak dengan sadar dan bebas dari rasa ragu, untuk saling mengasihi sampai tua dan mati. 

Aku terlalu banyak mengumbar hal semacam ini, hingga aku semakin yakin bahwa ada rasa seperti cinta yang konsepnya aku amini. Walau egoku dan pikirku belum juga terpenuhi, sampai paripurna saatnya nanti, aku hanya ingin memastikan dirimu dan diriku, bahwa tidak ada yang menyerah di sini. Yang ada hanya menetap dan memutuskan pergi. 
Bahwa orang yang akan dan terus berusaha, pasti mendapatkan hadiah yang nilainya tak terganti. Walau kau terus ragu, mengacuhkanku, terjatuh, bahkan memutuskan segala jalinan interaksi kita, aku tak akan menghancurkan diriku sendiri.

Comments

Popular Posts