Akhir Tunggal Eksistensi

Manusia adalah pengukuh jalannya sistem yang merusak sekaligus menghidupi diri mereka sendiri. Siklus hidupnya singkat: lahir, hadir, dan mati. Di tengah proses itu, hadir hal yang mencengangkan bagi mereka yang sanggup melewati sejumlah kurun waktu, yakni kecemasan. Kecemasan atas hidup mereka sendiri; keresahan bahwa hidupnya bisa lebih baik dari makhluk lain. Manusia menghadirkan makna, memberikan penghargaan pada suatu hal yang kosong nilai, agar hidupnya tak hampa.

Pencarian makna, berubah menjadi upaya yang mengakomodasi segala gagasan, argumen untuk membenarkan perbuatan yang semena-mena dari manusia, baik kepada sesama makhluk, atau kepada alam. Dengan berdiri tegap dan bangga, manusia mendaku sebagai raja di bumi. Imbasnya, wewenangnya makin membuatnya menggila; menciptakan kerajaan besar di penjuru bumi.

Singkatnya umur manusia hidup di permukaan bumi tak lantas membuat manusia menjadi ciut nyali. Bumi yang sedang melakukan rutinitasnya, dituduh murka kepada mereka. Lucunya, ada pula yang menyembah kemurkaan bumi ini, menjunjung tingginya sebagai suatu hal yang gaib. Dengan kekompakan yang dipaksakan, mereka menumbalkan sebagian dari yang mereka miliki untuk menyenangkan alam yang murka, namun tetap saja, konyol dan sia-sia.

Dari kesia-siaan yang dilakukan itu, muncul kewajiban untuk membagi jalan hidup ini kepada mereka yang lain; yang tak terpapar pemahaman kelompok ini. Dengan bangga, sekali lagi kukatakan padamu, mereka menyebut yang lain keliru, dan jalan miliknya lebih benar. Oh, tentu saja ada perlawanan. Darah mengalir, nyawa melayang sia-sia, hanya karena satu berbeda dengan yang lain. Kukira, hal ini hanya terjadi di masa lampau. Nyatanya, baru saja dalam waktu dekat ini, kekacauan terjadi.

Sungguh mengherankan. Apabila benar manusia itu bisa menerima pikiran dan menakar segala kejadian yang terjadi di dunia, bukankah hal itu seharusnya menyadarkan mereka, bahwa kesalahan datang dari hal yang mereka pertahankan ? Bahwa hal yang mereka bela, yaitu hasrat, adalah sesuatu yang bejat ? Tentu saja semua ini perlu diperbincangkan kembali oleh kita, yang melihat pola yang merusak ini pasti menyadari, bahwa ada hal yang sama, dilakukan ole manusia, dan itu telah ada sejak dulu. Apakah ini adalah "kutukan" bagi manusia, bahwa mereka akan melakoni peristiwa yang berulang ?

Untuk memahami akar masalah, kita harus paham tentang sistem peradaban manusia. Tentunya, dibutuh kan sebuah pemicu agar aktivitas yang terjadi, mekanisme dalam sistem tersebut agar terus berjalan. Setidaknya, catatan perulangan ini telah ada selama puluhan bahkan ratusan ribu tahun ke belakang. Pemimpin datang dan pergi. Bangsa dan peradaban besar berkuasa, dan hancur. Bila bukan oleh diri mereka sendiri, alam yang menghancurkannya.

 Dari situ, seharusnya bisa disadari bahwa masa lalu ada untuk menjadi sarana pustaka pembelajaran, bahwa kita pernah serendah atau seburuk itu, dan masa depan ada untuk membuka kesempatan bagi manusia guna memperbaiki diri. Namun, naif juga bila kita percaya tanpa berusaha, menjalani tanpa menalar dengan bijak. Bila kita ingin semuanya damai, maka mengulang pola adalah hal yang tepat, namun bila kita ingin dunia maju, maka konflik, kekacauan besar, harus terjadi. Walau ada kebaikan yang diniatkan sebagian manusia, tidak akan mungkin terjadi perubahan dalam peradaban manusia yang cukup signifikan, apabila tidak diupayakan oleh seluruh umat manusia. 

Aku bukan orang suci ataupun naif, namun aku memiliki gagasan penuh ampunan. Untuk memutus suatu sistem, fondasi sistem haruslah dilepaskan darinya. Maka, apakah melepaskan manusia dari peradaban, kesedihan dan kecemasan yang menghantui ini akan berhenti? Mari kita membayangkan dunia tanpa manusia, atau adanya kondisi yang ekstrim hingga manusia tak ada lagi di muka bumi. Sisa-sisa peradaban akan lapuk tak ubahnya fosil kuno. Lagipula, tanpa manusia, bumi akan tetap berjalan. Spesies datang dan pergi, dan manusia pun bisa jadi akan punah dari tempat alami mereka. Namun, tidak ada jaminan, bahwa siklus keresahan eksistensial tidak akan hilang dari semesta ini. Adakah penjamin besar, bahwa dunia akan tetap eksis selama-lamanya ? Bumi berusia lebuh dari 4 milyar tahun, sementara kita hanya baru tinggal sesaat. Semesta lebih tua dari itu, dan dia belum menunjukkan bahwa kecemasan (entropi, selain entropi dalam termodinamika) benar adanya. 

Lantas, bila semesta tiada nanti, apa yang menanti ?

Comments

Popular Posts