Kembali bertanya kembali

Atas nama kemanusiaan, kita rela membantu sesama kita yang sedang berada jauh di sana. Kita tidak tahu, deperti apa jadinya bantuan kita itu, akankah bermanfaat, dikorupsi, atau malah membuat orang yang kita bantu justru mengalami nasib yang semakin buruk. 

Kita mengumbar kemanusiaan yang disertai keadilan dan keberadaban. Selagi kita berkoar, akan ada selalu mereka yang dihina, ditindas dan disakiti oleh sesama. Tentu kita pernah melihatnya, dan tak sedikit bantuan yang kita berikan berujung buruk, bahkan maut. Tak jarang pula, diantara kita ada yang mengacuhkan perbuatan yang menyakitkan itu. Para perundung yang berlindung dibalik dalih candaan dan keakraban, tak mendapat balasan setara. Apa yang dibutuhkan penghakiman, atau keadilan?

 Bagaimana dengan korban pemerkosaan yang terdiskriminasi akibat mitos keperawanannya runtuh ?  Kita menghukum seadanya, tanpa mempertanyakan kembali, mana keadilan yang kita junjung.  Para pembunuh tak kehilangan nyawa, bahkan penyamun tak merasakan barang berharganya lenyap tanpa sisa. 
Siapa yang akan menjadi pembela mereka yang tak pernah merasakan proses peradilan? 

Seorang nenek tua renta, mengambil buah yang bukan miliknya, hanya karena ia kelaparan. Tetangganya melapor atas dasar pencurian, tanpa menimbang dengan empati. Si nenek pun dihukum berbulan-bulan. Tidak ada yang membantunya. Di lain pihak, anak seorang konglomerat yang menabrak sekumpulan orang di jalan hingga tewas, hanya karena ia mempunyai jaminan hukum yang lebih kuat, akhirnya bebas dari jeratan hukum. Payung hukum memang tajam ke atas, tumpul ke bawah. Apakah selubung dewi kematian telah membuat indera lainnya  turut mati ?

Kita tak pernah menempatkan diri dalam kerangka pikiran seseorang. Empati hanya omong kosong manis yang dijunjung guna menyadarkan ulang bahwa semua manusia berhak mendapatkan kesempatan setara untuk dipahami. Akan tetapi, kita berbatas pula dalam menapaki kehidupan. Kemanusiaan yang universal agaknya juga semu, hingga ia hanya berlaku dalam lingkup lokal. Adakah kita peduli secara langsung, nasib orang yang tengah bahagia, tengah sedih, atau merasa marah diluar lingkup jangkauan kita? 

Pernahkah kita benar-benar menyempatkan waktu untuk peduli terhadap perasaan, pemikiran, dan kisah orang lain, tanpa kita pernah terpikir untuk mengumbar kisah kita sendiri? Apakah benar, dengan turut peduli kepada orang lain, kita menempatkan diri kita dibawah mereka, membuat kita jadi yang paling terakhir dipedulikan? 

Comments

Popular Posts