Untuk yang mengasihani diri sendiri

Sejak dulu, aku tak pernah benar-benar mengenal dia. Selain kesendirianku, yang mengisi kosong dalam tiap kesepian diriku adalah ia, yang disebut sebagai kerendahan diri. Bertahun-tahun aku bersamanya, tapi tak pernah kukenal apa motifnya hadir. Engkau yang kerap membisikkan bahwa aku benar, bahwa dunia ini tak layak dipertahankan. Sungguh, yang kudamba kini hanya kesempatan untuk berjumpa denganmu, sebagai figur, bukan fragmen semu dunia maya yang kerap kujumpai ketika aku terlelap dalam lamunanku sendiri.

Aku mencoba menggunakan nalar untuk menerka  langkah macam apa yang akan engkau gunakan. Terlalu banyak antisipasi, skenario sebagai penolakan atas adu rasa dan nalar yang kita lakukan tiap hari. Tetap saja, rasa tak selalu menentukan selera. Lirik  yang picik tak selalu meracuni lagu yang unik. Selalu saja aku gagal memahami motifmu menjunjung diriku, sehingga putus asa. Keuntungan macam apa yang kau dapat nantinya?

Pernah aku sibuk bercakap denganmu, kurang lebih setahun lamanya. Engkau terus membisikkan kebaikan, bahwa aku adalah sosok terbaik. Ku hanya sosok naif di dunia yang keji, walau  tak pernah begitu adanya. Kata-kata penuh asa, namun penuh tipu daya. Manisnya tutur kata berbalut jujur, namun ujungnya membuatku hancur. Kini aku tak ingin lagi berjumpa dan berbincang denganmu, figur yang terus berbisik dalam hatiku.

Terima kasih, sebab bersamamu aku telah mengalami hal yang luar biasa. Singkatnya perkenalan tak lantas mengekang hasrat untuk meraih mimpi yang kita amini bersama. Jika kita berjumpa lagi, kuharap engkau tak lagi membisikkan kata-kata manis yang pernah membuai diri ini.

Comments

Popular Posts