Suara dari Warung Kopi

"Dulu kita gak bisa loh sembarang ngomong. Dari jauh udah ada yang ngincer. Kalau ada acara ditanya, mau bahas apa, siapa yang dikritik", tukas pak Slamet si pemilik warung.

"Terus kalau mau ngobrol soal politik, gimana?", tanya seorang juru mudi. Aku masih sibuk menanti jawaban pak Slamet sambil mengulum rokokku yang makin menipis.

"Gak wani. Pakdhe saya pernah ngeliat orang diciduk gara-gara itu. Warga dulu gak tenang", terangnya.

"Lantas pakdhe njenengan pripun? Ikut ditangkap juha? ", tanyaku pada beliau dengan bahasa Jawa yang kaku.

"Ya seperti pura-pura gak tahu saja. Orang begitu takut ngobrol yang diluar batas. Takut ada yang lapor, menangkap terus hilang seperti para aktivis", terang pak Slamet padaku. Aku hanya memanggut-manggut paham.

Diam mengisi kelanjutan pembicaraan itu. Riuh kendaraan, debu jalanan yang bertebaran menyambar mataku yang mulai kehabisan daya. Kuhabiskan segelas kopiku sambil membaca artikel daring yang tiada hentinya membahas gonjang-ganjing menjelang tahun politik.

"Zaman sekarang kok gampang ya orang asal mengucap. Bukan malah kebalik ya dibanding dulu? ", tanyaku pada pak Slamet yang sibuk memilih playlist. Sambil menjepit rokok di giginya yang mulai tanggal itu, ia melihatku dan berkata, "sama saja, mas".

Aku heran, tapi aku tak langsung menimpali. Juru mudi lain, yang membawa mobil menanggapi pernyataan pak Slamet dengan ketus, "enakan zaman dulu lah, om! Apa-apa murah, bbm gak mahal. Sekarang sudah susah!".

Pak Slamet mengangkat tangan, memotong pembicaraan si juru mudi tak sabar, "heh jangan ngomong susah! Sekarang lu balik, masih ada nasi ama telor tinggal masak. Dulu mah boro-boro! Nyari nasi harus ke desa sebelah sambil bawa piring. Itu juga bukan dikasih. Numbuk sendiri, direbus terus dimakan!".

Aku hanya terdiam mendengar kisah pak Slamet.
Tentu benar, zaman dulu amat sulit. Bukan aku mau mengagungkan beliau, sebab pejuang hidup sepertinya di pinggir jalan, di setiap zaman tentu banyak.  Teringat benak ini pada kisah orang-orang tua, dan khususnya ayah ibuku sendiri tentang bagaimana mirisnya mencari sesuap nasi, bahwa perjuangan itu kini terkadang tak dihargai.

Apakah ini warisan negeriku? Kesulitan dan hidup yang tak kunjung nyaman dan tentram? Aku tak kunjung paham mengenai jalan hidup, walau intisarinya mulai kupahami. Karena dalam setiap lakon, aktor pasti diuji. Sambil kuhisap rokok terakhir, aku pun undur diri dari warung pak Slamet.

Teringat ucapannya soal warung kopi yang bebas tanpa tabu, aku teringat ujaran Warkop DKI soal warung kopi sebagai simbol demokrasi kecil-kecilan.
Akan beda rasanya kalau engkau hidup di zaman yang aneh. Ketika aku berkumpul di warung ramai obrolan poleksosbudhum, aku senang walau pengunjungnya adalah orang tua. Sesamaku pun suka berkumpul, tentu sambil menunduk ke ponsel masing-masing. 

Lantas, apa aku harus menyalahkan zaman, atau menyalahkan diriku sendiri ? Kalau ingat sentilan di medsos, semua salah Jokowi. Tapi apakah itu lantas solusi baik? Belum tentu. Harusnya spirit kebersamaan itu tetap ada, namun apa daya zaman menghendaki lain. Atau manusia yang tak kunjung berubah, dan menyalahkan zaman?

Comments

Popular Posts