Nalar

"Ada hal-hal yang berada diluar akal sehat kita", ucapku.

Kalimat itu terucap bilamana seseorang menanyakan hal yang aku tak tahu bagaimana menjawabnya. Sejatinya, itu merupakan pengalihan belaka, agar pembicaraan tak berlanjut. Namun, semakin kuresapi kata-kata ini bak simalakama, yang bertentangan dengan prinsipku: tak berhenti bertanya dan berpikir. 

Bicara tentang akal sehat, tentunya akalku masih jauh dari kategori tersebut. Selalu saja duka, kebingungan dan kebuntuan menjadi pengiring hari tanpa henti. 
Penggunaan logika yang kuagung-agungkan tanpa henti pun menjadi bumerang dalam diamku. Tak urung jua aku menangisi hal yang telah lalu, walau air mata tak menetes lagi. 

Kesedihan, kesepian, kebingungan adalah momok bagiku. Ujaran lama mengatakan, bahwa manusia membutuhkan figur lain untuk melengkapi dirinya. Entah konstruksi atau alami, makhluk sosial seperti kita seperti "ditakdirkan" untuk mencari hal lain selain diri kita. Dan takdir begitu kejam, kalau kau menerima jujurnya alam. 

Apabila Tuhan itu nyata, maka tiada lagi entitas yang keji selainnya. Makhluknya terikat oleh nasib yang ia tentukan tanpa jalur cerita yang jelas, dan harus mereka ulik sendiri. Kita berjalan tanpa pernah ada jalan yang harus kita lalui, dan kebingungan selalu ada diantaranya. 

Tapi siapalah aku menghujat Tuhan mereka. Tuhan personalku telah mati kala itu. Sumpahku untuk mengubur Tuhan dalam pusara lapuk tanpa nama masih setia, dan belum ada pemicu yang membuatku membongkarnya kembali. Dia tetap ada diluar akal sehatku. 

Salah satu dari hal yang terus membuatku bertanya-tanya ialah mimpi. Selalu saja mimpiku diselipi kehadiran sosok itu. Ya, sosok yang dalam diamku terus aku lantunkan namanya. Sejauh apapun aku melangkah, seberapa keras aku mencoba, kehadirannya amat membekas dalam hati. Hingga titik terakhir kubela kenangannya mati-matian walaupun ia tak tentu melakukan hal yang sama. 

Apakah aku mengharap kenyataan sejalan dengan setiap mimpiku, atau keping dari cerminan sesalku? Masing-masing dari kami punya kenangan singkat, dan masing-masing telah menjalani pusaran peristiwa yang berbeda. Berpisah sebelum bersatu, akan selalu jadi kutukan bagiku yang mengingkari kebahagiaan sejati, yaitu kehadiran kawan sejati. 

Setiap hari, kucoba merumuskan sebab-akibat dari perilakuku. Kucoba merangkum sejumlah gagasan ini, namun apa mau dikata. Tetap saja, akal sehat ini tak sanggup membendungnya. Benakku mungkin bisa menjabarkan sejumlah hal, tapi perasaan dan hubungan antar insan tak urung juga membuatku kelabakan.

Adakah disana kebahagiaan sejati ? Layakkah kusematkan kebahagiaan bagi insan yang hatinya tertutup kebodohan, seperti diriku ini? 

Comments

Popular Posts