Kuning dan Hitam

Kuning dan Hitam.

Ada kalanya keduanya tak sanggup kupadukan. Masih, aku tak kuasa memutar rasio dan nuraniku tuk menjawab. Bahkan segala hajatku berfilosofi tak jua puaskan dahagaku padanya. Sering aku mendamparkan diri tuk duduk di sebuah pulau tak bertuan, memandang laut tak bertepi  di sekelilingnya. Mengharap engkau kembali lagi seperti dulu, saat kita pernah berjumpa dan berbagi.

Masih segar dalam benakku, hadirnya sinar jingga yang membalutku pada segala jengah dan sembilu. m
Di saat asaku hilang rupa, kau menghadirkan semuanya. Segala perhatian, kehangatan, kebaikan yang bisa kuterima dari sosok selain diriku, serta keyakinan diri yang telah hilang.

Saat itu, dengan lugu aku percaya bahwa selamanya adalah mungkin. Pasalnya aku masih di pulau tak bertuan itu. Memang, aku menjebak diriku di pulau itu, dan menampung takdir yang tak izinkan aku pergi jauh. Semua hanya untuk melihat sinar kuning dengan siluet hitam itu.

Bodoh ? Biar saja. Kapan lagi aku bisa jatuh cinta pada jujurnya alam ?.

Cakrawala, begitulah engkau biasa disebut. Garis membentang luas yang pemalu, tanpa iktikad sesat nan pilu. Aku ingin tetap di pulau ini sepanjang hayat, agar aku tetap jumpa dirinya. Matahari mungkin bisa pergi, tapi engkau, cakrawala, tak akan pernah. Kau menyiratkan bahwa di dunia ini masih ada kejujuran yang patut dicari dan diperjuangkan. Setidaknya itu yang aku percaya. Terlalu naif rasanya kalau takdir diterima tanpa pamrih, sebab di pusatnya bersembunyi perih. Keindahan itu, fana.

Ironis menjadi makhluk yang benaknya kekal. Kau mengingat, terus melangkah maju, sementara benak yang lain telah berpaling dan tak lagi serupa. Pulau ini pun masih sama seperti dulu, hanya aku saja yang menua. Pikiranku juga persis adanya.

Merindu, sendu, dan segala endu endu lain telah kuungkap, namun cakrawala tak juga kembali. Langit masih sayu dibasuh sinar candra, namun aku tetap merindu cakrawala.

Bahagia dan benciku kini tak terbendung. Masih pilu rasanya melepasnya pergi. Hanya aku yang bisa dan mengerti rasaku. Tidak lagi ia menjadi tempatku berbagi. Dalam hati aku berharap cakrawala tak ada, namun tiada indah dan jujur kenyataan nantinya. Biar saja aku begini, toh di pulau tak bertuan ini, tiada yang akan mengeluh.

Hanya saja, pertanyaan yang sama masih berkutat di pikiranku.

Adakah dunia paralel yang membiarkan takdir kita untuk menuju titik terjauh?

Comments

Popular Posts